Saat sekarang ini di Indonesia, dominasi penguasaan tanah
oleh korporasi terus meningkat. Penguasaan tanah ini tersebar di kawasan kehutanan
perkebunan, kawasan tambang, kawasan perkebunan, kawasan energi terbarukan dan
juga pangan. Sebagai gambaran dalam angka, dari total luas kawasan hutan
Indonesia 130 juta hektar, sekitar 82,5 juta hektar dikuasai oleh berbagai
industri kehutanan berbasis kayu, (Direktorat Jendral Bina Produksi
Kehutanan; 2009). Kementerian Kehutanan telah menetapkan rencana
pembangunan kehutanan bertumpu pada perkebunan kayu (Hutan Tanaman Industri)
dengan terus memperluas izin penguasaan kawasan hutan oleh perusahaan kebun
kayu (Hutan Tanaman Industri), dengan angka mencapai 20juta hektar pada tahun
2030. Di ujung timur Indonesia Merauke Papua, dengan alasan krisis pangan dan
energi, pemerintah Indonesia membangun proyek MIFEE (Merauke Integrated Food
and Energy Estate) yang luasannya mencapai 1 juta hektar dimana penguasan
lahannya diberikan kepada korporasi.
Sebagian besar korporasi penguasa lahan ini adalah kelompok
bisnis raksasa yang mempunyai jejaring bisnis multi-sektor dengan aliran
produksi hulu-hilir, seperti Sinar Mas Group (SMG), Radja Garuda Mas Group
(RGM), Bakrie Group, Medco Energy atau Barito Pacific, juga beberapa aktor
korporasi baru, seperti korporasi mesin transportasi (ADR Group), korporasi
media (Media Group) atau korporasi rokok (Djarum Group dan Gudang Garam Group).
Fenomena aktor korporasi ini semakin menunjukkan strategi penyatuan
sektor-sektor bisnis kedalam genggaman kekuasaan kerajaan bisnis dominan
sehingga pragmatisme tata kelola bisnis akan semakin pragmatis, karena pusaran profit-oriented
akan menempatkan segala sesuatu sebagai komoditi belaka, bahkan juga sumber
daya tanah dan hak ekonomisosial-budaya rakyat.
Komoditi yang ditanam dan diproduksi diatas tanah oleh para
korporasi adalah jenis komoditi ekspor, yang diolah berbagai macam jenis
produk, untuk kepentingan konsumsi pasar global, sehingga secara sistematis
melenyapkan keragaman hayati dan kekayaan sosial lokal. Untuk sektor hutan,
korporasi menanam komoditi cepat tumbuh untuk bahan bakububur kertas, minyak
dan wood-fibre. Untuk energy nabati dan minyak makanan, korporasi
menanam kelapa sawit, sedangkan untuk energy fosil, korporasi mengeruk batu
bara, gas dan bahan bakar fosil, dan saat sekarang sedang persiapan investasi
di sector panas bumi.
Model produksi oleh korporasi dengan melakukan dominasi
sektor industri hulu-hilir (konglomerasi), berskala besar, orientasi ekspor dan
rakus sumber bahan baku mentah, harus dibayar mahal oleh pengorbanan lingkungan
dan sosial, karena korporasi membuang “biaya eksternal” bussines mereka ke ruang
publik. Dibanyak kasus, untuk menguasai tanah dan sumber dayanya, korporasi
menegasikan hak-hak ekonomi-sosial-budaya masyarakat lokal, juga masyarakat
adat, mereka lebih mengutamakan dukungan izin yuridis-formal dari Pemerintah. Sehingga,
sangat sering kita lihat, terjadi konflik tanah antara korporasi dan
masyarakat, yang disebabkan dirampas dan dikuasainya tanah serta sumber daya
tanah oleh korporasi tanpa mendengarkan dan memperhatikan hak-hak masyarakat. Perampasan
Tanah menjadi satu modus dari bangunan model bisnis korporasi.
Masyarakat, Korporasi, Negara, dan
MP3EI
Kendati ini perang yang tak kan pernah usai dan susah
dimenangkan, setidaknya ini sangat relevan untuk diperjuangkan tanpa henti.
Perampasan hak atas lahan dari petani oleh kombinasi yang
solid antara korporasi dan Negara sudah ada sejak revolusi industri dan pada
masa kolonialisme untuk Indonesia, terus berlangsung sampai sekarang dan tak
pernah berhenti selama perampasan tanah dari komunitas-komunitas lokal
terkhusus petani menjadi salah satu agenda utama dalam sebuah proyek ekspansi
demi kerbelangsungan korporasi dan penghidupan pemodal.
Kebutuhan akan bahan baku murah, langsung, dan berlimpah
mengharuskan korporasi untuk melakukan eksploitasi di lahan-lahan pelosok nan
subur sekaligus mengikutkan dengan paksa lingkungan terkesploitasi dalam sistem
produksi yang sedang berjalan, bukan cuma bahan baku dan lahan, komunitas
dipaksa juga menjadi faktor produksi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia, sector pertanian yang mencakup peternakan, kehutanan dan perikanan
adalah penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, yaitu dari sekitar 250 juta
penduduk Indonesia, sekitar 40 persen bekerja di sector pertanian ini. Akan
tetapi, di sector ini jugalah terdapat masyarakat miskin paling besar di
Indonesia. Lahan, bahan baku, dan tenaga kerja dengan upah murah, apa yang
lebih menguntungkan dari itu? Bukan hanya itu, tereksploitasinya lahan juga
mengharuskan masyarakat sekitar menjadi pemasok bahan baku selepas lahan dan
produksi mereka dirampas bersamaaan.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) adalah kedok apik dan mutakhir yang dipunya pemerintah
Indonesia pada Korporasi-korporasi multinasional sekarang. Dengan menyebutnya
sebagai upaya pemerataan kesejahteraan, MP3EI lah yang menjadi pintu masuk
korporasi-korporasi memperkuat ekspansi mereka ke seluruh pelosok Indonesia
(pulau Jawa khususnya) yang malah tak lebih dari privatisasi ruang publik dan
lahan produksi sekaligus perampasan hidup masyarakat sekitar.
MP3EI berfokus pada delapan perkembangan utama, yaitu
pertanian, pertambangan, energi, idustri, kelautan, pariwisata, telekomunikasi
dan zona strategis.
Kedelapan program utama terdiri dari 22 kegiatan ekonomi
utama yang diklaim didasarkan pada nilai potensial dan strategis yang melekapat
pada masing-masing koridor.
Adapun koridor ekonomi meliputi (1) Sumatera sebagai pusat
produksi dan pengolahan sumber daya alam dan sebagai cadangan energi bangsa,
(2) Jawa sebagai pendorong industri nasional dan penyediaan layanan, (3)
Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan cadangan pertambangan dan
energi nasional, (4) Sulawesi - sebagai pusat produksi dan pengolahan nasional
pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas, dan pertambangan, (5) Bali -
Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pangan nasional dukungan,
(6) Papua - Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan
pertambangan nasional. Dalam kerangka ini kegiatan utama koridor ekonomi Jawa
(1) makanan dan minuman, (2) tekstil, (3) alat transportasi, (4) pengiriman,
(5) ICT, (6) alutsista dan (7) Lokasi Jabodetabek.
Jelaslah masterplan yang sepenuhnya menguntungkan
investor-investor, pemodal-pemodal dalam korporasi akan menegasikan kelolakalan
yang ada entah itu pada masyarakat, bahan pangan, proses produksi, produk, dan
apapun di hampir seluruh bagian. Bagaimana tidak, ambil contoh garis besar
pertama rencana ini adalah pemindahan seluruh proses pengolahan lahan di pulau
jawa akan dipindahkan ke Sulawesi. Itu baru rencana utama, kita belum sampai
pada penerapan-penerapannya dan koridor-koridor lainnya.
Pada perjalanannya jika MP3EI tetap dan terus akan
dilanjutkan akan dipenuhin sangat banyak perampasan hak hidup di setiap wilayah
di berbagai sector dan berbagai kelompok masyarakat.
Dan tak perlu dipertanyakan lagi, bukan? Perebutan hak atas
hidup tak bisa tidak diperjuangkan! Seperti yang kita tahu, ganti rugi, dan
saling mengerti tak memberikan apa-apa, toh sedari awal mereka tak pernah
mengerti apa-apa selain akumulasi modal dan laba.
Semangat hidup, semangat merebut kembali hak atas hiduplah
yang menjadi alasan utama ibu-ibu petani Rembang sebulan terakhir ini berkemah
dan aksi di lahan mereka yang akan dibangun pabrik Semen Indonesia, seluruh
masyarakat Karawang dan sekitarnya yang siap, tidak memikirkan resiko lain
termasuk luka-luka dengan menghadapi ribuan brimob bersenjata lengkap senin
lalu, masyarakat Bali yang tak pernah lelah menolak reklamasi Telok Benoa,
kawan-kawan di Sulawesi Selatan dan Muara Enim yang menuntut PTPN7 atas lahan
mereka yang ditanami Kelapa Sawit.
Juga banyak, terlalu banyak titik konflik lain di seluruh
Indonesia dengan Korporasi dan Negara di satu sisi sebagai pembelah hak
investor dan akumulasi modal dan laba, dan petani juga masyarakat di sisi lain
yang membelah hak atas hidup sepenuhnya tanpa diusik dengan lahan sendiri
bersama komunitas/kelompok masyarakatnya.
Rembang Belum Usai...
Kurang lebih 3 bulan lalu, masyarakat rembang yang didominasi Ibu-ibu menduduki lahan yang akan dibangun pabrik Semen Indonesia tepat di hari peletakan batu pertama.
Dari hari itu ibu-ibu dengan tanpa hentinya, tanpa putus semangat terus menduduki lahan dengan melawan korporasi, ancaman, dan popos senapan.
Twitter @omahkendeng adalah satu corong untuk tahu bagaimana perjuangan mereka selama 3 bulan ini.
Dan tepat tanggal 23 september nanti 100 hari sudah perlawanan ibu-ibu rembang. Untuk kawan-kawan di jogja dan sekitarnya, mari!
